Perjalanan : Sebuah Cerita
- Bakuyyyy
- 12 Okt 2017
- 6 menit membaca
Diperbarui: 19 Jun 2020

Meskipun berasal dari keluarga yang relatif berkecukupan, Bakuy bukan dilahirkan dalam keluarga yang kaya. Keluarga Bakuy bukan menganggap jalan-jalan (terutama ke luar negeri) adalah sesuatu yang diperlukan. Bahkan, cenderung dianggap sesuatu yang mewah. Kalau mengutip perkataan orang tua Bakuy, kira-kira perumpamaannya begini : "Untuk apa kita pergi jauh-jauh? Bukankah pulang ke rumah orang tua itu jauh lebih baik? Amerika selamanya tidak akan pernah hilang. Tapi orang tua kita suatu saat akan pergi untuk selamanya." Itulah yang melatarbelakangi alasan mengapa keluarga Bakuy selalu pulang kampung di setiap libur panjang, yaitu antara ke Jakarta atau ke Temanggung, dan tak pernah sekalipun terpikir untuk bepergian ke luar negeri.
Kutipan dari orang tua itu awalnya Bakuy sematkan dalam-dalam di hati Bakuy. Tapi perlahan-lahan Bakuy mulai berpikir, "Kalau begitu, kapan kita bisa mulai menjelajah dunia?". Namun, Bakuy tak punya kekuatan untuk menentang. Alasannya tentu saja uang. Boro-boro ingin jalan ke luar negeri. Makan sehari-hari saja masih bergantung orang tua :")
Kendati demikian, passion tampaknya tidak bisa dibohongi. Orang tua Bakuy yang bekerja di sebuah bank pemerintah mengharuskannya untuk berpindah-pindah kantor cabang. Dan pindahnya bukan sembarangan pindah yang masih dalam satu cakupan propinsi. Misalnya, waktu Bakuy baru berumur 1 tahun, orang tua Bakuy dipindahtugaskan dari Jakarta ke... Manokwari. Yups, saat itu Papua masih jauh tertinggal dibanding sekarang. Bakuy di sana sampai 5 tahun, dan Bakuy masih ingat betul kerusuhan cukup sering terjadi di sana. Tapi sisi baiknya adalah Bakuy sempat merasakan pantai-pantai yang indah di tanah Papua. Walaupun kenangan itu hanya tersisa samar-samar. Setelah itu, keluarga Bakuy dipindahkan lagi ke Makassar selama 3 tahun, lalu ke Pekalongan, Kudus, hingga akhirnya Bakuy melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Depok dan maka dari itu harus berpisah dari orang tua.
Nah, ide untuk plesiran ke luar negeri baru terpikir sewaktu kuliah ini, tepatnya di saat semester kedua. Pemicunya adalah ketika Bakuy melihat salah seorang kawan yang baru saja melancong ke Singapura dan Malaysia. Semangat Bakuy pun mulai tersulut. Cita-cita untuk pergi menjelajahi dunia semakin kuat. Bayang-bayang mahalnya biaya yang harus dikeluarkan serta kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat atau apapun itu sirna seketika. Maka pada awal bulan November 2015 Bakuy pun memutuskan untuk membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Barat (pembuatan paspor tidak harus di kantor imigrasi yang sama dengan propinsi asal KTP. Asalkan dokumennya lengkap dan alasannya jelas, di manapun mengurusnya tidak masalah). Tidak perlu menunggu lama, paspor jadi dan Bakuy pun siap melancong ke luar negeri. Tapi, rupanya ada tiga kendala yang mengganjal dalam pikiran Bakuy : dana, teman, dan visa!
Sebagai anak kuliahan yang masih bergantung pada transferan bulanan orang tua, tentu saja masalah dana tidak bisa disepelekan. Bakuy perlu berjuang selama berbulan-bulan untuk menyisihkan uang saku dan berhemat sampai terkesan kikir hehe demi membiayai rencana perjalanan ke luar negeri untuk pertama kali. Tahap menabung ini tidak mudah. Selalu ada saja godaan untuk belanja. Maka dari itu, Bakuy menyusun strategi dengan membeli celengan. Tiap minggu, Bakuy wajib memasukkan minimal 100 ribu ke dalam celengan. Strategi ini terbukti efektif karena uang yang sudah masuk celengan akan sulit untuk dikeluarkan, kan? Hehe. Maka perlahan-lahan terkumpul deh dana yang cukup untuk membiayai perjalanan perdana Bakuy ini.
Masalah dana terselesaikan, kini mencari teman perjalanan. Sejujurnya, masalah ini terselesaikan dengan : pergi sendirian, alias, solotraveling haha. Waktu itu Bakuy gagal mengajak teman. Pertama, Bakuy mengajak teman Bakuy yang baru saja pulang backpacking ke negeri jiran itu. Bakuy bikin deh tuh itinerary perjalanan serinci mungkin sampai pengeluaran transportasi umum dan lain-lain. Waktu itu Bakuy menyusun trip ke Hong Kong, Makau, dan Shenzhen, mengingat Singapura dan Malaysia pasti ditolak karena dia sudah pernah ke sana. Tapi hasilnya nihil, karena menurut dia harganya masih kemahalan. Bakuy ajak-ajak lagi deh teman yang lain. Hasilnya nihil juga. Tidak ada yang mau. Alasannya ada yang jauh, mahal, takut, sibuk. Pokoknya ga jauh-jauh dari empat itu, lah. Bakuy coba cari di situs-situs dan grup facebook traveler, berharap ada yang mau diajak di waktu yang sama. Tapi dasar pikiran traveler newbie, Bakuy malah cemas sendiri tiapkali membayangkan harus jalan-jalan dengan orang yang tidak dikenal. Maka Bakuy pun membulatkan tekad untuk : pergi sendiri a.k.a. solotraveling!
Jadi modal awal Bakuy untuk solotraveling cuman nekat doang. Serius. Pasti pada mikir kenapa ga ngajak keluarga atau dan sebagainya? Jawabannya ya lagi-lagi karena keluarga Bakuy tidak menganggap bepergian ke luar negeri itu sebuah 'kebutuhan', beda ama Bakuy hehe. Di antara keluarga Bakuy, cuman Bakuy yang, hingga tulisan ini dibuat, sudah punya paspor. Bakuy sempat nawarin ke abang, tapi dia cuman iya-iyain aja tapi tidak ada tindakan langsung :( ke Mama Papa juga sama aja. Malah ditakut-takutin kalau low-cost carrier itu rawan kecelakaan jadi mending naik Garuda sahaja yang which is itu mahal banget jadi tunggu nanti aja kalau udah kerja. Lah? Kan Bakuy maunya sekarang! Lagian kalau udah kerja pasti waktunya sempit banget. Cuti pasti terbatas (seriusan waktu itu Bakuy sampek ngitung-ngitung jatah cuti padahal semester tiga aja belum kelar wkwk). Intinya, ada uang, tapi gaada waktu. Persis tulisan Kak Trinity di The Naked Traveler. Jadi kalau mau mengeksplor dunia, ya sekarang saatnya! Maka kesimpulannya : nekat ae!
Tapi kalau mau pergi sendirian berarti harus ke negara-negara yang aman dulu kan, ya? Tapi Bakuy engga puas kalau cuma ke Singapura dan Malaysia. Minimal ke negara yang jauh, aman, tapi masih jarang diminati orang Indonesia : Taiwan. Nah, maka timbullah masalah nomor tiga : visa. Bakuy termasuk warga yang paling telat menyadari betapa culunnya paspor Indonesia. Ke mana-mana butuh visa yang tidak murah dan belum tentu disetujui kedutaan, apalagi mahasiswa yang tabungannya pas-pasan dan belum punya catatan perjalanan ke luar negeri sama sekali. Bisa sih, pakai tabungan orang tua. Tapi karena satu dan lain hal, waktu itu Bakuy memutuskan untuk tidak memberitahu orang tua Bakuy kalau Bakuy mau ke luar negeri (kawan-kawan, tolong jangan tiru adegan ini. Sumpah, restu orang tua itu nomor satu. Itu terbukti dari perjalanan pertama Bakuy yang nantinya akan kacau balau).
Kendala visa ini termasuk yang paling riweuh. Bakuy sempat engga napsu makan dan engga semangat UTS gara-gara ini (meskipun ini lebay juga sih). Tiap hari kerjaan Bakuy cuman search di wikipedia dengan kata kunci Visa Requirements for Indonesian Citizens, berharap ada perubahan signifikan. Bakuy nyesel banget waktu itu ga bikin e-paspor hanya karena lebih mahal hiks. Kalau tau waktu itu bebas visa Jepang pasti Bakuy jabanin deh :'(
Usut punya usut, akhirnya Bakuy memutuskan untuk tetap pergi sendirian. Bakuy pun mulai menyusun itinerary di word, menekan biaya sekecil mungkin tapi mengunjungi negara sebanyak-banyaknya. Setelah mempertimbangkan sana-sini, akhirnya Bakuy memutuskan rutenya adalah Jakarta-Singapura-Makau-Hong Kong-Shenzhen-Hong Kong-Kuala Lumpur-Jakarta dalam 5 hari! Jadi masing-masing negara cuma satu hari. Alangkah idealis (atau tolol?)-nya Bakuy saat itu yang mengesampingkan kemungkinan kelelahan akibat perjalanan. Rasanya kalau sekarang ingat jadi pengen ngetawain diri sendiri :( Bakuy pun mulai memesan hotel di masing-masing kota dan voila, terlepas dari musibah yang akan Bakuy hadapi setelah itu, akhirnya Bakuy kesampaian juga menginjakkan kaki di luar negeri! :)
(Disclaimer : Catatan Tragedi di Hong Kong akan Bakuy jabarkan lebih lanjut di bagian Travel dengan judul artikel "Hong Kong : Antara Kegemerlapan dan Tragedi")
Jadi pada artikel kali ini, Bakuy ingin teman-temankuy semua untuk jangan pernah berhenti bermimpi untuk menjelajah dunia dan jangan pernah takut untuk mewujudkannya. Bakuy sangat setuju dengan pernyataan Kak Trinity dalam buku The Naked Traveler bahwa menjelajahi dunia harus dimulai saat muda. Dan bagi kita yang terkendala dana tidak punya pilihan lain selain mulai menabung untuk mewujudkannya. Sebenarnya ada banyak cara lain yang lebih 'prestisius' untuk melanglang buana. Misalnya dengan dibiayai kantor atau institusi pendidikan, beasiswa S2 ke luar negeri, atau ikut travel group yang nyaman (tidak perlu bersusah payah). Tapi percaya deh, solotraveling akan menjadi memori tersendiri di dalam hati kita yang gaakan bisa dilupakan.
Solotraveling juga mengasah kepribadian kita agar menjadi lebih pemberani dan percaya diri. Menjadi seorang solotraveler berarti kita harus punya insting yang kuat, naluri mempertahankan diri, serta kemandirian yang menuntut kita untuk berdiri di atas kaki sendiri (cielaah). Kita bisa hidup lebih dekat dengan warga lokal, berinteraksi dengan mereka, mengetahui macam-macam scam, dan masih banyak lagi. Setiap pengalaman itu nantinya bisa dengan bangga kita bagikan pada orang lain, meluruskan berbagai stereotip yang selama ini cuma mereka dengar dari media atau internet (guru PKn Bakuy pernah bilang kalau orang Rusia itu menuhankan seks bebas dan pornografi sampai katanya berhubungan seksual di jalanan umum adalah sesuatu yang wajar. Rasanya Bakuy pengen nyamperin guru itu sekarang dan meluruskan pandangannya yang keliru ini).
Ber-solotraveling pasti punya suka duka, terutama di awal-awal perjalanan. Tapi percaya deh, ketika kita sudah terbiasa, rasanya semuanya terasa mudah. Kita jadi lebih percaya diri dan bisa bertahan di tengah orang-orang yang tak kita kenali. Pemikiran kita lebih terbuka karena kita bisa melihat apa yang terjadi di dunia luar. Kita menyimpulkan kebenaran dari apa yang kita lihat sendiri, bukan dari sekadar apa yang digembar-gemborkan media massa. Selain itu, solotraveling membuat kita lebih bebas mengatur diri kita. Kita tidak terikat dengan jadwal travel agent yang mengikat. Kita bebas pergi ke mana saja dan menghabiskan waktu berapa lama di setiap objek wisata. Kita bebas mengambil gambar sesuka hati. Dan kita tidak perlu ikut berjalan di dalam rombongan (yang dipandu tour leader yang membawa bendera) seperti karya wisata taman kanak-kanak.
Dan yang tak kalah penting, solotraveling dapat membuat kita rehat sejenak dari kehidupan kita yang berulang-ulang. Solotraveling membuat kita memiliki waktu eksklusif hanya untuk diri kita sendiri.
Solotraveling mungkin membutuhkan keberanian yang besar, tapi bukan berarti mustahil dilakukan. Solotraveling juga berarti kita harus pergi sendirian, tapi bukan berarti itu tidak akan menyenangkan. Menurut Bakuy, solotraveling merupakan sesuatu yang wajib dilakukan setiap orang minimal sekali seumur hidup. Karena pada saat itulah kita bisa mengukur seberapa jauh ketahanan diri kita dan seberapa besar keberanian kita dalam mengambil setiap keputusan. Sebab ketika kita ber-solotraveling, setiap keputusan ada di tangan kita. Sukses-tidaknya perjalanan itu bergantung dari seberapa cermat kita mengatur waktu dan keuangan.
Jadi teman-temankuy, tunggu apa lagi? Kemasi barang-barang, cek kalender, dan buat perjalanankuy! :D